Ketum APTRI : Pemerintah Harus Bangun Pabrik Gula Baru dan Ratakan Dengan Tanah Pabrik Gula Tua
Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen dalam kesempatan di Jakarta mengatakan bahwa saat ini petani tebu sedang mengalami kesusahan dan kerugian yang bertubi tubi dari tahun 2016 hingga musim giling 2018, karena banyaknya impor gula yang menyebabkan gula tani tidak laku, rendemen yang rendah dan meningkatnya biaya produksi tebu.
Menurut Soemitro selaku petani tebu yang sudah puluhan tahun menanam tebu, permasalahan rendemen menjadi permasalahan klasik mengingat rendemen tebu petani sangat rendah rata-rata hanya 5 – 7,5 %, dengan produksi 80 Ton/ Ha. Soemitro yang juga merupakan caleg DPR RI Partai Golkar dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VIII (Nganjuk, Jombang, Madiun, Mojokerto) mengatakan bahwa rendemen rendah disebabkan sebagian besar Pabrik gula kondisinya sudah tua, dan tebu petani sebagian besar digiling di Pabrik Gula milik BUMN. Soemitro juga mengatakan bahwa harga gula petani masih belum bisa bersaing dengan produksi gula impor karena pabrik gula dalam negeri terutama yang usianya sudah uzur yang lebih dari 100 tahun produktivitasnya tidak bisa sejajar dengan pabrik gula di negara lain yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Hal ini terlihat dari rendemen rata-rata yang diperoleh petani hanya berkisar 5% – 7,5% bahkan ada petani yang rendemennya dibawah 5 %. Padahal pada saat yang sama di negara lain yang merupakan produsen gula, rendemennya diatas 12% sampai dengan 14 %.
Soemitro mengatakan dari jumlah pabrik gula nasional 63 buah, 52 diantaranya adalah milik BUMN, oleh karena itu pemerintah seharusnya segera melakukan revitalisasi pabrik-pabrik gula milik BUMN, bahkan pabrik gula yang sudah tua peninggalan Belanda tersebut perlu diratakan dengan tanah saja dan dilakukan pendirian Pabrik Gula baru yang modern terlebih dahulu sebelum melakukan penutupan Pabrik Gula yang lama.
Selain itu, menurut caleg Partai Golkar ini, impor gula yang berlebih menyebabkan gula petani tidak laku. Selain banyaknya impor gula konsumsi, impor raw sugar untuk pabrik gula rafinasi setiap tahun selalu berlebih lebih, dua tahun terakhir sekitar 3,2 juta ton pertahun melebihi dari kebutuhan industri makanan dan minuman yang hanya berkisar 2,4 juta ton pertahunnya. Kelebihan ijin impor gula rafinasi ini dapat dipastikan masuk kepasar konsumsi, sehingga gula tani dipastikan mengalami kesulitan masuk ke pasar, bahkan tidak laku karena tidak ada yang menawar karena banyaknya gula rafinasi yang merembes ke pasar.
Mengenai rembesan gula rafinasi di pasar gula konsumsi, Soemitro menduga dapat dilakukan oleh pabrik gula rafinasi maupun oleh perusahan makanan dan minuman. Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan adanya berita dimedia yang mengatakan Kementerian Perdagangan mencabut izin usaha 6 perusahaan makanan dan minuman (mamin) sepanjang 2018 yang berlokasi di Jabodetabek, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan sekitarnya. Tindakan Kementerian Perdagangan tersebut juga merupakan respon terhadap keluhan-keluhan dari petani tebu karena banyaknya gula rafinasi yang beredar di pasar. Selain penindakan seperti itu, Kementerian Perdagangan juga harus membatasi impor raw sugar gula rafinasi sesuai dengan kebutuhan industri.
Kondisi ini diperparah dengan dikeluarkannya ijin impor untuk gula konsumsi di tahun 2016,2017,2018 yang nyata-nyata melebihi kebutuhan konsumsi. Menurut Soemitro, pemerintah dalam mengambil kebijakan impor gula baik itu GKP maupun GKR harus sesuai dengan jumlah kebutuhan, sehingga petani tidak dirugikan dengan banjirnya gula impor seperti sekarang.
Menurut Soemitro, kebijakan pemerintah menunjuk Bulog membeli gula tani musim giling 2018 belum menyelesaikan masalah, karena disamping harga yang dipatok Rp.9.700 per Kg tersebut masih dibawah BPP petani yang Rp.10.500,-per Kg, maka pembelian Bulog yang hanya untuk para petani di wilayah kerja PG BUMN (itupun tidak seluruhnya) sangat tidak adil bagi petani di wilayah PG Swasta yang notabennya sama-sama petani Indonesia namun tidak dibeli Bulog. Ditengarai karena gula yang dibeli BULOG juga sulit masuk ke pasar maka sepertinya akan dijual dibawah harga Rp.9700,- dan bila hal ini benar, maka akan lebih menghancurkan harga jual gula tani yang sampai hari ini masih belum ada yang membeli termasuk bagi petani di wilayah PG BMUN ada juga yang belum terbeli BULOG.
Soemitro mengatakan saat ini awal tahun 2019 masa pemeliharaan tanaman tebu, petani tebu menatap masa depan dengan waswas. Menurut Soemitro pertanyaannya hidup atau matikah industri gula nasional yang ditopang petani tebu lokal. Dengan penuh kecemasan masa depan petani tebu, Soemitro mengungkapkan dimana cita-cita swasembada gula nasional dan kedaulatan pangan Negeri ini.
Leave a Reply